Mancing Bareng HUT CIDEC ke-4

Mancing Bareng CIDEC

Seorang teman mancing, tiba-tiba menyodorkan sebuah stiker CIDEC di lokasi pemancingan galatama patin Empang-21. Sekilas ia menginformasikan ihwal komunitas pemancing Depok. Pemancing dengan nama lapak Aki Item itu juga menginformasikan ihwal even mancing bareng dalam rangka HUT CIDEC ke-4, pada 16 Februari 2014.

Keesokan harinya, rekan mancing yang lain, sebut saja “Doblah” berkirim pesan lewat akun Facebook. Ia menanyakan keikutsertaan saya dalam mancing bareng CIDEC. Saya jawab, “Insya Allah.” Akhirnya, tanggal 16 itu, kami memang berpartisipasi dalam even mancing bareng itu. Lokasi pemancingan di empang galatama emas Purbaya, Jalan Radar AURI, Cimanggis.

Pada harinya, kami tiba di lokasi 15 menit sebelum pukul 15.00, jam dimulainya mancing bareng. Dari total 47 lapak, sore itu penuh. Lapak yang relatif sempit, menjadi terasa sesak. Tapi, suasana tetap enjoy. Semua pemancing memancing dengan style masing-masing. Bagi yang sudah familiar dengan empang Purbaya, tentunya sudah lebih tahu situasi.

Saya sendiri, mencatatnya sebagai “yang pertama” memancing di Purbaya. Secara umum, saya tidak kecewa, meski tidak juga merasa puas yang meluap-luap. Tidak kecewa, karena ikan-ikan di Purbaya relatif rakus. Lemparan penuh, setengah, hingga ngedek di ujung joran, semua disambar. Pendek kata, dalam hal “makan”, memancing bersama member CIDEC selama empat jam hari itu, lumayan menyenangkan.

Satu catatan kecil harus saya torehkan di sini, ihwal patahnya joran Daiwa saya pada sentakan pertama. Aneh… benar-benar aneh. Joran itu saya beli Rp 290.000, rasanya sih, sebuah harga yang tidak bisa dibilang murah, meski saya tahu, masih banyak merek lain dengan harga yang jauh lebih mahal. Beruntung saya bawa tiga joran (termasuk joran untuk memancing patin), sehingga saya segera mengganti dengan joran yang lain.

Saya penasaran benar dengan patahnya joran di sentakan pertama. Padahal, ikan yang naik, hanya seukuran telapak tangan. Satu-satunya penjelasan yang masuk di nalar saya adalah kesalahan saya yang tidak dalam menancapkan sambungan joran dengan sempurna. Kemungkinan kedua adalah sentakan yang terlalu kasar (yang ini agak kurang masuk akal). Kemungkinan ketiga, jorannya memang jelek (kesalahan pada penjual yang merekomendasikan joran itu… hehehhee).

Singkat kata, selama empat jam, kurang lebih saya narik 20-an ekor. Yaaa, tentu jauh dari pemenag total. Tapi setidaknya saya tahu, ada rekan pemancing lain yang menarik kurang dari jumlah itu.  Ikan berat hanya dua ekor, dengan bobot 4,4 dan 4,15 kg. Sementara, babon pertama pada even itu 5,2 kg.

Itulah sekelumit catatan saya mancingb bareng dalam rangka HUT CIDEC ke-4 di pemancingan Purbaya, beberapa waktu lalu. Terima kasih buat bung Billy dan mas Dedy yang sudah mengajak saya menikmati sensasi mancing bareng ikan emas. Malamnya, saya “kembali ke laptop”…. ke pemancingan galatama patin di empang 21 (Darno), Juanda, Depok. (roso daras)

Tiga Jam, Empat Ekor

Bagong!

Anda tahu artinya? Secara harfiah, Bagong setahu saya adalah salah satu tokoh wayang (Punakawan) salah satu putra Semar. Saudara dari Gareng dan Petruk. Tapi dalam dunia pemancingan, saya mendapat istilah “Bagong” yang berarti, memancing tanpa hasil…..

Alhamdulillah, saya pribadi belum pernah memancing galatama dan menyandang predikat Bagong. Sebaliknya, saya beberapa kali melihat, seorang pemancing sejak start hingga akhir (waktunya rata-rata 3 jam), sama sekali tidak strike, alias tidak mendapatkan ikan barang seekor. Alias menjadi bagong!

Tapi pernah sekali, dan ini belum lama, saya memancing (selama tiga jam) hanya strike 4 ekor. Ini barangkali rekor paling sedikit saya memancing galatama patin. Kalau ditarik garis rata-rata: Belasan. Bahkan beberapa kali juara total. Artinya, menjadi pemancing dengan jumlah tangkapan terbanyak. Pernah bahkan merasakan juara total dengan 32 point. Artinya, berhasil mendapatkan 32 ekor dalam waktu tiga jam!

Karenanya, pengalaman menggentak 4 ekor dalam waktu tiga jam, serasa menjadi “setengah bagong”. Sekalipun pada saat itu, kondisi empang memang lagi “sumeng” (istilah pemancing untuk ikan yang malas nyambar umpan), tetapi tetap saja ada ketidakpuasan jika gagal menarik ikan sebanyak-banyaknya. Ukurannya adalah lengan pegel, dan harus dioles conterpain sehabis mancing…..

Nah, bicara strategi mendapatkan ikan di kolam pemancingan… beredarlah sebuah rahasia umum, yang kiranya menarik untuk di-share di sini. Misal, dalam cuaca hujan, di mana hujan turun dalam intensitas yang tidak terlalu besar dan berlangsung lama, itu adalah indikasi ikan bakal susah makan. Pengaruh perubahan cuaca mempengaruhi juga temperatur dan tingkas basa di dalam air empang. Nah, perubahan itu tentu saja berdampak pada kebiasaan ikan makan.

Ada yang bilang, ikan jenis patin, lele, bawal, cenderung rakus, dan tidak terpengaruh dengan cuaca hujan. Bisa jadi itu benar, tetapi jika dikatakan tidak berpengaruh sama sekali, rasanya juga tidak benar. Terbukti, beberapa kali saya memancing patin saat hujan, cenderung ikan tidak seganas kalau tidak hujan.

Lantas, strategi membuat titik, dengan cara melempar umpan pada satu titik secara terus menerus. Ini dimaksudkan, dengan cara begitu, ikan akan berkumpul di titik yang sudah kita lempari umpan berkali-kali. Umpan pelet bom yang berjatuhan di sekitar titik, akan mengundang ikan-ikan berkumpul di situ. Istilah cady yang bisa membantu saya, “Meja makannya di situ.”

Bagaimana jika teknik menitik lokasi jatuhnya umpan gagal? Istilah lainnya adalah “cari lubang baru”. Caranya, ya kurang lebih sama. Menggeser jatuhnya umpan, tetapi tetap dengan menitik di titik yang itu-itu juga. Nah, yang jadi persoalan, khususnya seperti saya yang belum becus melempar umpan, memang bukan persoalan mudah untuk bisa melempar umpan di satu titik yang sama berulang-ulang. Sulit sekali! Lagi-lagi cady menasihati, “Banyak latihan, om!” Hehehehehe, si Otong juga tau!!! (roso daras)

 

Terapung-apung di Tengah Malam

Memancing di laut? Pasti menarik! Alhasil, ketika keluarga besar “Growpark” memutuskan untuk menggelar arisan keluarga di Pulau Pramuka (Kepulauan Seribu) Mei 2012, memancing pun menjadi salah satu agenda sampingan. “Ini akan menjadi pengalaman pertama yang tak terlupakan,” batinku.

Sayang, persiapannya kurang matang. Ssampai di Pulau Pramuka, siang hari, kami tidak langsung memancing. Acara setelah makan siang adalah berenang di Pulau Karya, sekitar 15 menit naik kapal dari Pulau Pramuka. Buat saya, ini justru berdampak buruk. Saya masuk angin, sehingga ketika balik ke cottage, harus nenggak obat sakit kepala, plus dikerok…..

Setelah itu, pulasssss….. Padahal, agenda mancing sudah dicanangkan habis maghrib. Saudara-saudara tidak tega rupanya, untuk berangkat mancing tanpa keikutsertaan saya, akhirnya mereka menunggu saya bangun. Apa lacur, ketika mata terbuka, jam menunjuk pukul 21.00. Akhirnya, jadwal mancing yang semula habis maghrib, bergeser menjadi jam 22.00.

Padahal, kapal yang kami sewa sudah stand by dari sore. Umpan pun sudah siap. Sayang, berangkatnya terlambat.

Sang nelayan pemilik kapal yang kami sewa, mengarahkan kapal kayu ke utara, kurang lebih satu jam perjalanan. “Ada spot bagus, di lokasi bekas tenggelamnya kapal phinisi,” ujar si nelayan sambil memperhatikan alat GPS genggam.

Kapal berkapasitas 15 orang itu, terisi sembilan orang, dua di antaranya awak kapal. Kami pun melaju menembus pekatnya malam di tengah ayunan ombak yang lumayan mengguncang. Sesampai di spot pertama, kapal pun buang jangkar. Mancingers menyiapkan segala perlengkapan (terus terang di bawah standar).

Tujuh pemancing pun melempar umpan ke dasar laut, yang diperkirakan sedalam 50 meter. Apa yang terjadi? Semua senar pancing melayang terbawa arus. Pemberat yang kurang dari satu ons, tak mampu menembus derasnya arus di dasar laut. Sang nelayan hanya tersenyum…. “Waaah. payahhh…. melayang semua… gimana mau dapat ikan… ha…ha…ha….,” komentar si nelayan pembawa kapal.

Tidak sampai 30 menit, dia menyarankan spot yang lain, yang lebih dangkal. Kami sepakat. Meluncurlah kapal ke spot kedua, dipandu GPS portable genggaman si nelayan. Di sini, jam sudah menunjuk pukul 01.00 dinihari. Masing-masing pemancing, menambah berat pemberat. Sementara itu, tiga pemancing lain sudah “tumbang” mendengkur keenakan diayun-ayun ombak laut Pulau Seribu di malam hari.

Hampir dua jam, tidak satu pun yang strike. Termasuk di nelayan itu sendiri, yang juga ikut memancing menggunakan senar rol. Waktu mendekati jam 02.30 ketika si nelayan mengusulkan spot lain lagi. Kami menjawab “OK,” dengan lunglai.

Tiba di spot ketiga, sudah hampir jam 03.30. Pemancing yang bertahan tinggal tiga, satu di antaranya terkantuk-kantuk. Usai melempar umpan, dia nyender dan mata pun terpejam. Saya? Tidak terlalu kantuk, karena sudah sempat tidur tadi. Tapi pantat ini panas benar, sehingga harus menggeser duduk ke sana ke sini menghilangkan rasa penat di pantat.

Srrrrrrrrrrtttttt….. ril berderit, tanda umpan disambar. Lemas jadi brigas, lunglai jadi semangat…. Inilah sensasi pertama kali strike mancing di laut. Rasanya? Luar biasa! Bisalah dibilang, menebus kelelahan berjam-jam berpindah-pindah lokasi mancing dengan hasil nihil. Sensasi menarik ikan laut, terbukti memang dahsyat! Meski ikannya tidaklah terbilang besar.

Singkatnya, saya menarik dua ikan (namanya pun saya tidak tahu), keponakan saya, si Alam juga strike dua kali, dan kakak saya, mas Aries, menarik sekali dengan korban mematahkan tungkai pemutar rel…. he …he…he….. Menjelang shubuh, kami memutuskan balik ke Pulau Pramuka. (roso daras)

Strike Jengis Khan…

Suatu hari, kakak saya mengabarkan tentang spot mancing nan eksotik! Namanya Lubana Sengkol, yang berlokasi di Jl. Hutama Karya Km 15, Puspitek, Serpong. Apanya yang eksotik? Kolam “monster fish”. “Wuihhh… apaan tuh!” saya penasaran. Keponakan kemudian menjelaskan hal-ihwal tentang memancing ikan-ikan monster. Meski infonya kurang lengkap, tetapi tergambar betapa menariknya memancing ikan dengan berat puluhan kilogram!

Hari Minggu, kami sepakat mancing bersama. Dari Depok, lokasi pemancingan di Serpong sesungguhnya cukup jauh. Akan tetapi rasa penasaran benar-benar telah memperpendek jarak. Setelah terlebih dahulu mampir-nyamper di rumah kakak, berangkatlah kami ke lokasi pemancingan, yang ternyata juga tempat yang nyaman buat rekreasi keluarga.

Di Lubana Sengkol, ada berbagai fasilitas seperti restoran, arena bermain anak, dan… tentu saja kolam-kolam pemancingan. Ada kolam berisi ikan bawal, ada kolam berisi ikan emas dan nila, ada kolam berisi ikan patin, lele. Dari semuanya, kolam terbesar diperuntukkan bagi monster fish. Berbagai jenis ikan berukuran tidak lumrah ada di sini.

Saya tidak hafal nama-nama ikan monster itu. Yang saya ingat, ada jenis ikan jengis khan, jenis ikan tawar yang juga sering kita sebut hiu air tawar. Yang lain lagi, arapaima. Ini jenis ikan monster yang kalau di Amazon besarnya bisa mencapai ukuran dua kali manusia dewasa. Satu lagi (yang saya ingat) ikan aligator. Itu lho… ikan air tawar yang memiliki moncong seperti buaya.

Hari itu, rombongan mancing keluarga bisa terbilang cukup besar. Selain kakak, ada tiga keponakan, anak, dan kakak ipar, tetapi yang memancing di kolam ikan monster ternyata hanya saya. Mereka lebih memilih memancing di kolam-kolam kiloan.

Setelah membayar uang tiket sebesar Rp 120.000, saya mendapatkan lapak serta satu ember kecil berisi sekitar lima ekor ikan mas kecil-kecil, yang ternyata sebagai umpan. Setelah mempersiapkan peralatan mancing, lemparan pertama pun saya lakukan. Setelah itu… menunggu sambil mengamati senar pancing yang bergerak-gerak… bukan karena disenggol ikan, tetapi karena memang umpan ikan hidup yang belum mati, sehingga masih tetap bergerak-gerak di dalam air, menarik-narik senar kail.

Kurang lebih satu jam lamanya tidak ada tanda-tanda bakal narik ikan monster. Seorang petugas kemudian mendatangi saya dan meminta izin melihat kail yang saya gunakan. “Kurang besar nih….,” begitu komen dia. Padahal, saya sudah memakai mata kail ukuran 15. Sejurus kemudian saya menuju kantor pemancingan, hendak membeli mata kail yang lebih besar. Apa lacur, ternyata tidak tersedia. Untung saja, petugas berbaik hati membelikannya di toko pancing yang katanya tak jauh dari lokasi pemancingan.

Begitu kembali ke lapak, ternyata joran sudah berdiri dengan umpan terpasang. Belum hilang keheranan saya, si petugas tadi bilang, “Sudah saya ganti yang besar pak! Saya pasangin umpan pelet, buat penglaris he…he…he…,” katanya.

Belum hangat kursi yang saya duduki, umpan disambar ikan…. reflek saya sentak joran, dan terasa berat! “Dapat nih!” kata hati. Sebelah hati lagi berkata, “tapi kok tidak terlalu berat yaaa, jangan-jangan ini ikan kecil….” Benar. Rupanya umpan pelet tadi disambar master bawal. Lumayan untuk ukuran bawal, kurang lebih 2 kg.

Selepas melepas bawal ke kolam, saya kembali menggunakan ikan hidup. Seekor ikan mas saya tangkap, saja tusukkan mata kail ke tubuh ikan agak ke belakang, dan melemparkannya ke tengah kolam. Menunggu… dan menunggu….

Tawaran makan siang istri, sejenak saya abaikan, “Yaaa…silakan duluan….” Kembali menunggu…. Benar-benar tidak mau kehilangan moment (kalau-kalau) umpan saya disambar ikan monster…..

Tik-tak jam terus berdetak, dan tak bisa dipungkiri, perut mulai lapar. Saya tinggalkan lapak dengan joran terparang, menuju saung yang sudah kami booking untuk makan siang bersama keluarga. Sambil makan ikan goreng dan tumis kangkung, pikiran melayang ke joran yang saya tinggalkan. Sebentar-sebentar menengok ke arah kolam ikan monster…. “Ah… sepi-sepi saja….”

Usai makan cepat (karena ingin segera kembali ke kolam), keluarga mendaulat untuk menyanyi…. Ha…ha…ha…. Gak penting banget! Tapi begitulah. Karena hari Minggu, pengelola pemancingan menyediakan hiburan organ tunggal. “Ahhh siapa takut!!! Saya menghampiri pemain organ, membuka buku lagu, dan memesan satu nomor lawas…..”

Selagi menyanyi, kakak ipar dan istri datang menghampiri, dan ikut menyambr mic, dan menyanyi bersama. Usai satu lagu, nambah! Satu lagu lagi. Mulut menyanyi, mata membaca syair lagu, tapi pikiran benar-benar ke kolam!

Karena itu, usai lagu, bergegas saya kembali ke tepi kolam. Tidak ada kegaduhan apa pun. Saya simpulkan, tidak terjadi apa-apa dengan umpan saya. Artinya, selama saya tinggal makan dan menyanyi dua lagu, umpan saya masih dianggap pahit oleh ikan-ikan monster yang sungguh ingin saya pancing hari itu!

Kurang lebih 10 menit sejak saya kembali ke lapak, ada tanda-tanda umpan ditarik-tarik. Meski itu pengalaman pertama, tetapi cukup mudah untuk membedakan, tarikan-tarikan akibat gerakan umpan hidup, dan tarikan akibat disambar-sambar ikan besar.

Srrrrreeeeeeetttttttttt……….. senar terseret. Reflek saya sambar joran dan mulai mengendalikan keadaan…. Tidak seperti tarikan bawal tadi, yang ini lebih dahsyat. Jika diukur kekuatan tarikan, mungkin sepuluh kali lebih kuat! Tanpa dikomando, para pmancing di kiri dan kanan kemudian menarik umpan mereka. Sepertinya memberi kesempatan saya menaklukkan ikan monster yang sedang meronta-ronta di dalam kolam sana.

Susah saya melukiskan dengan kata-kata, tetapi sensasi tarikan ikan ini memang luar biasa. Saat ikan sudah mulai mendekat, tiba-tiba melawan dan meninggalkan jaaauuuuuuhhhhh ke tengah kolam bahkan melewati setengah kolam. Bak pemancing profesional, saya lepas saja. Saat tarikan mengendor, baru saya gulung lagi. Lagi-lagi, baru berapa meter ikan mendekat, sudah meronta lagi dan kabuuurrrr jaaauuuuhhhhh……

Dalam sensasi menarik ikan monster, saya benar-benar tidak menghiraukan kemungkinan joran patah atau senar putus. Saya hanya mencoba mengendalikan pemberontakan ikan monster ini. Bermain tarik-ulur. Barangkali saya dan ikan yang saya tangkap sama-sama ngotot. Saya begitu ngotot untuk menepikannya… ikan itu begitu ngotot untuk melepaskan diri dari kail saya.

Tidak ada yang mengukur waktu, tetapi perkiraan saya kurang lebih antar 10 – 15 menit, pergulatan menepikan ikan monster itu terjadi. terpaksa, selama itu pula saya menjadi pusat perhatian. Bukan saja perhatian para pemancing lain, tetapi juga para pengunjung Lubana Sengkol yang ada di saung-saung ikan kiloan.

Ya, itulah pengalaman mancing pertama dan striker pertama untuk ikan jenis monster. Ikan bodoh yang memakan umpan saya adalah jenis jengis khan. Ya, ikan hiu tawar, kita menyebutnya. Bobotnya? Kata petugas yang melepas mata pancing dari moncong si jengis, “dua puluh kilo!” Dan itu termasuk jenis ikan yang dilabeli hadiah. Hadiahnya sebuah rice cooker. “Tapi untuk periode bulan ini, ikan yang bapak tangkap sudah naik, jadi hadiahnya sudah didapat oleh pemancing pertama…,” kata petugas kolam.

Ahhh…. gak pentiiiinnnnnng…… Yang penting, narik jengis khan dua puluh kilo, cing! (roso daras)

Suatu Hari di “Lembah Desa”

Sekitar pertengahan April 2012, saya sekeluarga pulang ke Jogja. Selain menengok ibu mertua yang sedang gerah, sekaligus ngantar anak sulung yang baru saja pulang umrah, plus nyowanke wayah-wayah ke eyang-buyut tercinta.

Inilah kali pertama pulang ke Jogja dalam status punya hobi baru: “mancing”. Karena itu, sejak di kereta Taksaka, saya sudah asyik surving via galtab, men-search spot-spot mancing di kota Gudeg. Cukup banyak, tapi hanya dua lokasi yang sempat saya singgahi.

Yang pertama di daerah Pakem. Kurang menarik. Selain kolam kecil, ikan-ikannya juga kecil. Nyaris tidak ada tantangan. Tapi, lumayan asyik buat rekreasi keluarga. Udaranya segar, lokasi nyaman, masakannya juga enak.

Hari berikutnya, langsung ke Jl Imogiri Timur Km 5, persisnya ke pemancingan Lembah Desa. Dari situsnya, tampak bagus. Menjanjikan sensasi memancing, dengan menyediakan begitu banyak kolam dengan aneka jenis ikan. Selain itu, ada satu kolam pemancingan ukuran besar untuk galatama master bawal. “Perlu dicoba nih,” batin saya.

Datang siang, langsung ke kolam pemancingan kiloan. Baru lempar umpan, sudah disamber bawal. Saya protes, “Lho! Katanya ikan emas!” Si penjaga berdalih, “Iya pak, di sini ada juga bawal-bawal kecil limpahan dari kolam galatama. Biar gak ganggu, makanya dicemplungin ke sini,” katanya seraya melepas ikan dan melemparnya kembali ke kolam yang sebelah (kolam bawal).

Dua kolam kiloan saya jajal. Lumayan. Satu-satunya yang membuat kurang sreg hanya lebar kolam yang pas-pasan. Entahlah, kenapa saya tidak suka mancing di kolam yang berukuran kecil.

Sore pun menjelang. Satu per satu pemancing galatapa master bawal berdatangan. Saya pun segera meninggalkan kolam kiloan dan bergeser ke kolam sebelah yang berukuran (mungkin) terbesar di Yogyakarta.

Petugas setempat mengatakan, saya harus ganti tali dan mata kail. Pendek kata, beli senar besar, ganti kail, dan beli pelampung besar. Untuk proses pemasangan pun meminta bantuan pemancing lain. Maklum, saya benar-benar belum mahir mengikat mata kail…..

Tidak seperti di Jakarta, memancing galatama di sini harus bayar di muka!!! Wah, padahal, dompet kosong, dan anak saya masih dalam perjalanan (dari mengambil uang). Beruntung panitia berbaik hati, bioeh mendaftar, meski bayar menyusul. Tiketnya Rp 100.000.

Umpannya (karena tanpa persiapan), hanya memakai umpan yang disiapkan panitia, roti basi. “Gak perlu umpan aneh-aneh Pak. Ikan-ikan di sini kan dikasih makannya roti, jadi siapa tahu dengan roti malah dimakan,” begitu kata petugas, memotivasi saya.

Baiklah. Sampai pegel tangan saya mengaduk-aduk roti basi menjadi umpan. Sementara, pemancing lain, saya perhatikan sudah membawa umpan-umpan andalan. Mereka mengambil roti basi juga, tetapi kayaknya hanya untuk nge-bom saja.

Duduk di lapak nomor 44, saya mengawali memancing dengan kekacauan. Rupanya, saya menggulung senar terlalu penuh. Berhubung senar besar, jadinya begitu dilempar, langsung melorot semua dari rel. Kacau!!! Bundettt…. ruwettt…..!!! Alamat buruk!!!

Hampir 15 menit waktu terbuang untuk menata ulang. Memotong, mengurangi, dan menggulung ulang, serta memasang kembali pelampung dan mata kail. Setelah itu, barulah beraksi. Lempar umpan sejauh-jauhnya. Ini juga salah satu sensasi memancing di kolam besar.

Sepulun menit, 15 menit, 20 menit, tidak disenggol, saya ganti umpan. Ulang lagi, sepuluh, lima belas, dua puluh menit, saya ganti lagi…. Begituuuu terus sampai waktu tiga jam habis, tidak satu bawal pun nyangkut!!!!

“Memang susah Pa… lihat saja, di sebelah kiri-kanan papa yang pake umpan khusus saja tidak narik satu pun!” kata anak saya membesarkan hati.

Alhasil, ketiga petugas menanyakan apakah akan lanjut ke sesi berikutnya, saya bilang, “No, thanks!”

Dalam cuaca hujan gerimis, jemputan tidak datang-datang, karena mobil sedang dipakai membeli makan malam di rumah. Akhirnya, saya dan anak saya, menembus rintik hujan, berjalan kaki dari Jalan Imogiri Timur Km 5, sampai ke perempatan ring-road dekat terminal.

Ini kami tempuh setelah semua nomor telepon taksi di Jogja tidak ada yang menyahut. Dan baru di perempatan itulah ada taksi mangkal. “Taksi pak? Tunggu saya makan dulu yaaa,” kata sopir taksi.

Usai makan, si sopir menghampiri, “Ngopi-ngopi dulu ya pak….”

Usai makan, ngopi, bayar… barulah si sopir menghampiri. “Borongan ya pak…..”

Saya sudah tidak bisa berkata-kata. Langsung duduk di belakang, dan membiarkan anak saya memandu sopir menuju rumah kakak di Sokowaten. Ohhh… master bawal!!! Ohhh rintik hujan!!! Ohhh… sopir taksi!!! (roso daras)

Memancing Iseng

Iseng ternyata bisa dipancing. Memancing juga ternyata bisa untuk kegiatan iseng semata. Itulah niat saya memancing. Rasanya, niat itu belum berubah, sejak gemar memancing kala bocah, hingga sekarang. Jeda waktu yang begitu lama, ternyata tidak atau belum menggeser niat.

Mula sekali, tahun 2011, diajak besan dan anak saya. Tempatnya di pemancingan mini, di penginapan Jambu Luwuk, Tapos – Bogor. Mulai memancing jam 21.00, dan baru beranjak dari pinggir empang menjelang shubuh. Tidak terasa!

Pulang dari liburan keluarga, suatu pagi (sepertinya sih akhir bulan, karena sudah ada uang), saya panggil anak saya dan memberinya uang Rp 1 juta untuk beli alat pancing (joran, rel, dan perlengkapan lainnya). Pulang kerja, hampir tengah malam, disambut anak saya dengan menunjukkan tiga joran lengkap dengan rel, perlengkapan, bahkan tas! Satu buat saya, dua buat kedua anak saya.

Jadi, kebayang kan? Kualitas alat pancing seperti apa yang saya beli. Jika dirata-rata, satu set alat pancing seharga Rp 300.000. Saya tidak menilai itu murah. Tetapi juga sadar, dengan harga segitu, tidak mungkin mendapat alat pancing kualitas bagus.

Begitulah, kemudian kegiatan memancing iseng menjadi kegiatan yang agak rutin. Hingga sekarang. Ternyata, iseng bisa dipancing. (roso daras)

Walesan dan Kumbul

Dusun Gropak, Desa Kaleng (e dilafalkan seperti e dalam kata kalem). Desa itu terletak di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah). Di sini saya lahir dan menghabiskan masa anak-anak. Selain bermain layang-layang usai musim panen tiba, aktivitas yang paling populer ketika itu adalah mandi di sungai (kami menyebutnya “slibon”) dan mancing.

Nah, aktivitas memancing ini merupakan aktivitas rutin saat musim hujan. Sebab, di musim hujan itu pula kali-kali di sekeliling desa kami penuh air. Ajaib, kali yang semula kering-kerontang, mendadak saat terisi air, muncul ikan-ikan yang entah datang dari mana. Saya rasa ini misteri alam.

Ketika matahari mulai tergelincir ke Barat, tanpa komando anak-anak, remaja, pemuda, hingga orang tua, tampak menuju ke kali-kali. Ada kali lor, kali kidul, ada yang naik sepeda, banyak yang berjalan kaki. Masing-masing membawa walesan (joran), lengkap dengan tali dan mata kail.

Sesampai di pinggir kali, biasanya para pemancing akan mematah ranting dari jenis pohon yang tumbuh di tepi kali. Entah apa nama pohon itu, tetapi jika kulit ranting tadi dikupas, akan menjadi sebuah “kumbul” alias pelampung. Cara memasangnya cukup mudah. Kedua ujung kumbul diselipkan tali pancing.

Umpan? Paling populer tentu saja cacing. Ada yang sudah membawanya dari rumah, ada yang mencari di pematang sawah. Cacing ukuran kecil cukup untuk sekali umpan. Cacing ukuran besar bisa dijadikan dua-tiga umpan dengan cara dipenggal-penggal.

Membayangkan aktivitas memancing tahun 70-an (saat saya kecil) dengan memancing sekarang, tentu banyak perbedaan. Khususnya dalam hal peralatan. Tetapi, hakikat dan filosofi memancing, pada dasarnya sama saja.

Jika sekian puluh tahun kemudian saya kembali menggemari kegiatan memancing, sebenarnya tidak terlalu aneh. Yang aneh barangkali, ketika terbersit niatan membuat blog untuk menuang hal-ihwal terkait aktivitas memancing yang akhir-akhir ini relatif sering saya lakukan.

Sebegitu spesialkah kegiatan memancing, sehingga begitu menyedot minat saya untuk mengekspresikannya dalam sebuah blog? (roso daras)