Suatu Hari di “Lembah Desa”

Sekitar pertengahan April 2012, saya sekeluarga pulang ke Jogja. Selain menengok ibu mertua yang sedang gerah, sekaligus ngantar anak sulung yang baru saja pulang umrah, plus nyowanke wayah-wayah ke eyang-buyut tercinta.

Inilah kali pertama pulang ke Jogja dalam status punya hobi baru: “mancing”. Karena itu, sejak di kereta Taksaka, saya sudah asyik surving via galtab, men-search spot-spot mancing di kota Gudeg. Cukup banyak, tapi hanya dua lokasi yang sempat saya singgahi.

Yang pertama di daerah Pakem. Kurang menarik. Selain kolam kecil, ikan-ikannya juga kecil. Nyaris tidak ada tantangan. Tapi, lumayan asyik buat rekreasi keluarga. Udaranya segar, lokasi nyaman, masakannya juga enak.

Hari berikutnya, langsung ke Jl Imogiri Timur Km 5, persisnya ke pemancingan Lembah Desa. Dari situsnya, tampak bagus. Menjanjikan sensasi memancing, dengan menyediakan begitu banyak kolam dengan aneka jenis ikan. Selain itu, ada satu kolam pemancingan ukuran besar untuk galatama master bawal. “Perlu dicoba nih,” batin saya.

Datang siang, langsung ke kolam pemancingan kiloan. Baru lempar umpan, sudah disamber bawal. Saya protes, “Lho! Katanya ikan emas!” Si penjaga berdalih, “Iya pak, di sini ada juga bawal-bawal kecil limpahan dari kolam galatama. Biar gak ganggu, makanya dicemplungin ke sini,” katanya seraya melepas ikan dan melemparnya kembali ke kolam yang sebelah (kolam bawal).

Dua kolam kiloan saya jajal. Lumayan. Satu-satunya yang membuat kurang sreg hanya lebar kolam yang pas-pasan. Entahlah, kenapa saya tidak suka mancing di kolam yang berukuran kecil.

Sore pun menjelang. Satu per satu pemancing galatapa master bawal berdatangan. Saya pun segera meninggalkan kolam kiloan dan bergeser ke kolam sebelah yang berukuran (mungkin) terbesar di Yogyakarta.

Petugas setempat mengatakan, saya harus ganti tali dan mata kail. Pendek kata, beli senar besar, ganti kail, dan beli pelampung besar. Untuk proses pemasangan pun meminta bantuan pemancing lain. Maklum, saya benar-benar belum mahir mengikat mata kail…..

Tidak seperti di Jakarta, memancing galatama di sini harus bayar di muka!!! Wah, padahal, dompet kosong, dan anak saya masih dalam perjalanan (dari mengambil uang). Beruntung panitia berbaik hati, bioeh mendaftar, meski bayar menyusul. Tiketnya Rp 100.000.

Umpannya (karena tanpa persiapan), hanya memakai umpan yang disiapkan panitia, roti basi. “Gak perlu umpan aneh-aneh Pak. Ikan-ikan di sini kan dikasih makannya roti, jadi siapa tahu dengan roti malah dimakan,” begitu kata petugas, memotivasi saya.

Baiklah. Sampai pegel tangan saya mengaduk-aduk roti basi menjadi umpan. Sementara, pemancing lain, saya perhatikan sudah membawa umpan-umpan andalan. Mereka mengambil roti basi juga, tetapi kayaknya hanya untuk nge-bom saja.

Duduk di lapak nomor 44, saya mengawali memancing dengan kekacauan. Rupanya, saya menggulung senar terlalu penuh. Berhubung senar besar, jadinya begitu dilempar, langsung melorot semua dari rel. Kacau!!! Bundettt…. ruwettt…..!!! Alamat buruk!!!

Hampir 15 menit waktu terbuang untuk menata ulang. Memotong, mengurangi, dan menggulung ulang, serta memasang kembali pelampung dan mata kail. Setelah itu, barulah beraksi. Lempar umpan sejauh-jauhnya. Ini juga salah satu sensasi memancing di kolam besar.

Sepulun menit, 15 menit, 20 menit, tidak disenggol, saya ganti umpan. Ulang lagi, sepuluh, lima belas, dua puluh menit, saya ganti lagi…. Begituuuu terus sampai waktu tiga jam habis, tidak satu bawal pun nyangkut!!!!

“Memang susah Pa… lihat saja, di sebelah kiri-kanan papa yang pake umpan khusus saja tidak narik satu pun!” kata anak saya membesarkan hati.

Alhasil, ketiga petugas menanyakan apakah akan lanjut ke sesi berikutnya, saya bilang, “No, thanks!”

Dalam cuaca hujan gerimis, jemputan tidak datang-datang, karena mobil sedang dipakai membeli makan malam di rumah. Akhirnya, saya dan anak saya, menembus rintik hujan, berjalan kaki dari Jalan Imogiri Timur Km 5, sampai ke perempatan ring-road dekat terminal.

Ini kami tempuh setelah semua nomor telepon taksi di Jogja tidak ada yang menyahut. Dan baru di perempatan itulah ada taksi mangkal. “Taksi pak? Tunggu saya makan dulu yaaa,” kata sopir taksi.

Usai makan, si sopir menghampiri, “Ngopi-ngopi dulu ya pak….”

Usai makan, ngopi, bayar… barulah si sopir menghampiri. “Borongan ya pak…..”

Saya sudah tidak bisa berkata-kata. Langsung duduk di belakang, dan membiarkan anak saya memandu sopir menuju rumah kakak di Sokowaten. Ohhh… master bawal!!! Ohhh rintik hujan!!! Ohhh… sopir taksi!!! (roso daras)